Semua orang, termasuk juga kamu, pasti menginginkan hari pernikahan yang sempurna. Dekorasi yang indah, kehadiran orang-orang tersayang, sampai kondisi tubuh yang fit adalah hal yang perlu kamu usahakan demi kesempurnaan itu.
Namun ternyata, sebagian orang beranggapan bahwa persiapan teknis saja tidak cukup untuk sebuah pernikahan. Apalagi untuk kehidupan setelah menikah yang dipercaya penuh rintangan. Menurut mereka, ada satu faktor lain yang juga perlu dipersiapkan: faktor budaya.
Sebagai negara multikultural, Indonesia memiliki berbagai mitos pernikahan dari berbagai budaya. Terutama budaya Jawa, yang selama ini memang terkenal sebagai budaya yang aturan-aturannya cukup rumit.
Apakah kamu atau pasangan kamu berasal dari Suku Jawa? Jika ya, yuk, simak mitos-mitos pernikahan adat Jawa di bawah ini!
1. Mitos Pernikahan Anak Pertama
Menurut adat Jawa, anak pertama memiliki beberapa saran sebelum menentukan calon pasangannya. Pertama, anak pertama sebaiknya tidak menikahi anak pertama juga, dan kedua, anak pertama sebaiknya tidak menikahi anak ketiga.
Konon, menikahi anak pertama lain dan anak ketiga dipercaya dapat membuat salah satu pasangan sering sakit-sakitan, juga sulit mendapatkan keturunan.
Jika dinalar, sebenernya mitos ini hanya berhubungan dengan perbedaan sifat antara anak sulung dan bungsu yang telah menjadi stereotip.
Anak sulung yang terkenal dengan sifat pekerja keras dan keras kepala dikhawatirkan akan sulit menjalin hubungan pernikahan dengan anak sulung lain, ataupun dengan anak ketiga (atau bungsu) yang biasanya bersikap manja dan egois.
2. Mitos Melangkahi Kakak
Dalam adat Jawa, pernikahan diharapkan terjadi sesuai dengan urutan kelahiran. Anak pertama dianjurkan menikah lebih dulu, lalu disusul oleh anak kedua, dan seterusnya.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Kakak seringkali belum menemukan jodoh ketika adiknya sudah, sehingga peristiwa ”dilangkahi” pun terjadi. ”Melangkahi” kakak sendiri dipercaya dapat mendatangkan musibah, apalagi ketika kakak diam-diam merasa sakit hati.
Namun, jika adik sudah mendapatkan restu yang tulus dari sang kakak, pernikahan tetap boleh dilaksanakan, asalkan adik memberi ”tebusan” kepada kakaknya (dapat berupa perhiasan atau barang kesukaan kakak).
3. Mitos Pernikahan berdasarkan Letak Rumah
Tak hanya usia atau urutan kelahiran, letak rumah juga dibahas dalam mitos-mitos pernikahan, lho!
Dalam adat Jawa, seseorang tidak boleh menikah dengan tetangga yang rumahnya masih satu arah (penjuru mata angin), tetangga yang rumahnya tepat berada di depan rumah (adu arep), dan tetangga yang rumahnya berada dalam satu deretan dengan rumah sendiri.
Baca juga
Jika dilakukan, hal-hal di atas dipercaya dapat membuat rumah tangga kurang harmonis dan tertutupnya pintu rezeki.
4. Mitos Tidak Boleh Bertemu saat Masa Pingitan
Pingitan adalah masa di mana kedua pengantin ”dijaga” oleh keluarga masing-masing dengan cara dibatasi aktivitas serta frekuensi keluar rumahnya.
Calon mempelai diharapkan untuk tidak bertemu saat masa pingitan. Jika dilakukan, konon katanya rumah tangga pascapernikahan tidak akan berjalan harmonis.
Namun, sebenarnya, mitos tentang pingitan tercipta akibat manfaat-manfaat pingitan sendiri, seperti: calon pengantin memiliki waktu lebih untuk bercengkrama bersama keluarga sebelum menikah, keluarga dapat memberi wejangan mengenai rumah tangga secara bebas, dan kedua calon pengantin dapat fokus mempersiapkan diri menjelang pernikahan.
5. Mitos Ruwatan
Ruwatan adalah upacara atau ritual Jawa yang dipercaya berguna untuk membersihkan diri. Konon, ruwatan wajib dilakukan oleh anak tunggal yang hendak menikah jika ia tidak ingin rentan terhadap penyakit.
Terlepas dari apakah mitos ini benar atau tidak, ruwatan sendiri sebenarnya berguna sebagai sugesti positif yang dapat menenangkan hati calon pengantin. Kamu tahu sendiri, kan, rumitnya pernikahan seringkali membuat orang panik dan gugup.
6. Mitos Jangan Menikah di Bulan Suro
Terakhir, dalam adat Jawa, ada mitos yang mengatur tentang bulan pernikahan: jangan menikah di bulan Suro.
Bulan Suro adalah salah satu bulan dalam kalender Jawa yang diterbitkan oleh Sultan Agung dan mengacu pada kalender Hijriah (penanggalan Islam). Dalam kalender Hijriyah, bulan Suro jatuh bertepatan dengan Muharram.
Konon katanya, jika pengantin nekat menikah di bulan Suro, kehidupan pernikahannya akan penuh dengan kesialan. Salah satu calon pengantin juga akan sakit-sakitan, entah itu pria atau wanitanya.
Baca juga
Mitos-mitos di atas hanyalah kepercayaan sebagian orang yang belum jelas kebenarannya. Kamu tentu boleh percaya atau tidak, tetapi yang jelas, kamu dan pasangan harus tetap mengusahakan yang terbaik bagi pernikahan kalian sendiri.